Misteri Vila Tua, ENTAH sudah berapa lembar surat
lamaran kerja yang dilayangkan di berbagai instansi. Setiap ada lowongan
kerja yang sesuai dengan profesinya di beberapa media, dengan cepat dia
layangkan lamaran kerja yang telah disiapkan. Namun, sayangnya hingga
kini tak satu pun dari sekian banyak surat lamaran kerjanya yang
terbalas.
Ivansyah merasa kasihan dengan kedua orangtuanya yang telah banyak mengeluarkan biaya kuliahnya hingga akhirnya dia berhasil meraih gelar Insinyur di bidang arsitektur. Dua ekor kerbau dan sebagian ladangnya dijual untuk membiayai anaknya yang semata wayang dan sangat dicintainya. Namun, setelah mendapatkan gelar ST, ternyata masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Sudah hampir setahun dia mendapatkan predikat sebagai Panji Klantung. Untunglah hal itu tidak terlalu berkepanjangan, tatkala di suatu pagi ada teman ayahnya yang menawarkan pekerjaan untuknya. Kedua orangtuanya sangat bersuka cita dengan tawaran kerja yang diberikan kepada anaknya. Sebuah vila tua di kawasan Kota Batu, Jatim, yang tak jauh dari rumahnya, disuruh memugarnya.
“Nak, vila itu sudah lama sekali tidak berpenghuni. Konon yang punya warga Belanda. Tetapi, setelah ditinggal pulang ke negaranya, vila itu dibiarkan mangkrak begitu saja. Namanya Tuan Willem yang katanya telah meninggal beberapa tahun lalu. Lalu Tuan Frans yang masih sepupunya, yang memberikan order kepada Nak Ivansyah, menyuruh aku untuk menunggu vilanya. Tetapi, berhubung rumahku berdekatan sekali dengan vila itu, aku hanya cukup mengawasi vila itu dari rumahku. Lagi pula keamanan di kampung ini, aman-aman saja,” sambut Pak Truna yang sudah setengah baya menyambut kedatangan Ivansyah.
“Ya, aku sudah mendengar riwayat vila itu dari Pak Frans. Beliaulah yang mengatakan bahwa vila ini diserahkan sepenuhnya kepada Pak Frans untuk mengawasinya”. Ivansyah yang datang di siang hari bolong berkata kepada Pak Truna seraya mengamat-amati vila yang akan dipugarnya.
“Oh ya, kata Pak Frans, Nak Ivansyah disuruh oleh Pak Frans bermalam di rumahku untuk beberapa hari. Tentang biaya makan dan sebagainya, Pak Frans yang menanggungnya,” Pak Truna menawarkan jasanya.
“Terima kasih atas tawaran Pak Truna. Tetapi, kalau aku ingin bermalam saja di vila itu apakah tidak bisa Pak ?” pandangannya diarahkan ke vila.
“Oh…..boleh-boleh saja Nak. Tetapi, aku harus membersihkan vila tersebut” Pak Truna menjelaskan.
“Ah…tetapi jangan Pak Truna sendirian yang membersihkan. Aku juga akan membantu membersihkannya” Ivansyah merasa kasihan kepada Pak Truna.
Akhirnya setelah vila itu bersih dari kotoran, terutama debu, Ivansyah memutuskan untuk bertempat tinggal di situ. Kalau malam tiba, dia ditemani dengan setia oleh radio transistor kecil yang sengaja dibawanya dari rumah. Tak terasa sudah hampir seminggu dia berada di vila itu. Dia memugarnya bersama beberapa kuli bangunan.
Sebagian besar kuli-kuli yang diajak memugarnya itu adalah penduduk setempat yang ada di sekitar Batu. Dengan demikian tukang-tukang itu usai menunaikan pekerjaannya selalu pulang ke rumah mereka masing-masing. Malam itu adalah malam Jum'at Kliwon. Dia mendengar dari beberapa orang, kalau malam Jum'at kliwon seperti malam itu diusahakan untuk tidak tidur sore-sore. Lebih baik untuk tidur setelah jam 12 malam ke atas. Namun, entah karena apa, pada malam Jum'at Kliwon itu mata Ivansyah rasanya penat sekali. Meski malam itu sudah minum kopi kental dan beberapa kue agar tidak tidur sore-sore, toh rasa penat di mata Ivansyah hampir tak tertahankan.
Kalau malam Jum'at tiba biasanya Pak Truna datang berkunjung ke vila menemani dia ngobrol. Namun pada malam tersebut, Pak Truna dengan keluarganya turun ke kota untuk mendatangi temannya yang mempunyai hajad mengawinkan putranya. Jam tangan yang diletakkan di atas bufet sudah menunjukkan jam setengah dua belas malam.
Ivansyah merasa kasihan dengan kedua orangtuanya yang telah banyak mengeluarkan biaya kuliahnya hingga akhirnya dia berhasil meraih gelar Insinyur di bidang arsitektur. Dua ekor kerbau dan sebagian ladangnya dijual untuk membiayai anaknya yang semata wayang dan sangat dicintainya. Namun, setelah mendapatkan gelar ST, ternyata masih sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Sudah hampir setahun dia mendapatkan predikat sebagai Panji Klantung. Untunglah hal itu tidak terlalu berkepanjangan, tatkala di suatu pagi ada teman ayahnya yang menawarkan pekerjaan untuknya. Kedua orangtuanya sangat bersuka cita dengan tawaran kerja yang diberikan kepada anaknya. Sebuah vila tua di kawasan Kota Batu, Jatim, yang tak jauh dari rumahnya, disuruh memugarnya.
“Nak, vila itu sudah lama sekali tidak berpenghuni. Konon yang punya warga Belanda. Tetapi, setelah ditinggal pulang ke negaranya, vila itu dibiarkan mangkrak begitu saja. Namanya Tuan Willem yang katanya telah meninggal beberapa tahun lalu. Lalu Tuan Frans yang masih sepupunya, yang memberikan order kepada Nak Ivansyah, menyuruh aku untuk menunggu vilanya. Tetapi, berhubung rumahku berdekatan sekali dengan vila itu, aku hanya cukup mengawasi vila itu dari rumahku. Lagi pula keamanan di kampung ini, aman-aman saja,” sambut Pak Truna yang sudah setengah baya menyambut kedatangan Ivansyah.
“Ya, aku sudah mendengar riwayat vila itu dari Pak Frans. Beliaulah yang mengatakan bahwa vila ini diserahkan sepenuhnya kepada Pak Frans untuk mengawasinya”. Ivansyah yang datang di siang hari bolong berkata kepada Pak Truna seraya mengamat-amati vila yang akan dipugarnya.
“Oh ya, kata Pak Frans, Nak Ivansyah disuruh oleh Pak Frans bermalam di rumahku untuk beberapa hari. Tentang biaya makan dan sebagainya, Pak Frans yang menanggungnya,” Pak Truna menawarkan jasanya.
“Terima kasih atas tawaran Pak Truna. Tetapi, kalau aku ingin bermalam saja di vila itu apakah tidak bisa Pak ?” pandangannya diarahkan ke vila.
“Oh…..boleh-boleh saja Nak. Tetapi, aku harus membersihkan vila tersebut” Pak Truna menjelaskan.
“Ah…tetapi jangan Pak Truna sendirian yang membersihkan. Aku juga akan membantu membersihkannya” Ivansyah merasa kasihan kepada Pak Truna.
Akhirnya setelah vila itu bersih dari kotoran, terutama debu, Ivansyah memutuskan untuk bertempat tinggal di situ. Kalau malam tiba, dia ditemani dengan setia oleh radio transistor kecil yang sengaja dibawanya dari rumah. Tak terasa sudah hampir seminggu dia berada di vila itu. Dia memugarnya bersama beberapa kuli bangunan.
Sebagian besar kuli-kuli yang diajak memugarnya itu adalah penduduk setempat yang ada di sekitar Batu. Dengan demikian tukang-tukang itu usai menunaikan pekerjaannya selalu pulang ke rumah mereka masing-masing. Malam itu adalah malam Jum'at Kliwon. Dia mendengar dari beberapa orang, kalau malam Jum'at kliwon seperti malam itu diusahakan untuk tidak tidur sore-sore. Lebih baik untuk tidur setelah jam 12 malam ke atas. Namun, entah karena apa, pada malam Jum'at Kliwon itu mata Ivansyah rasanya penat sekali. Meski malam itu sudah minum kopi kental dan beberapa kue agar tidak tidur sore-sore, toh rasa penat di mata Ivansyah hampir tak tertahankan.
Kalau malam Jum'at tiba biasanya Pak Truna datang berkunjung ke vila menemani dia ngobrol. Namun pada malam tersebut, Pak Truna dengan keluarganya turun ke kota untuk mendatangi temannya yang mempunyai hajad mengawinkan putranya. Jam tangan yang diletakkan di atas bufet sudah menunjukkan jam setengah dua belas malam.
Baca : Misteri Vila Tua (Part 2)
0 Response to "Misteri Vila Tua (Part 1)"
Posting Komentar
Untuk Menghindari SPAM dan Kata-kata Yang Tidak Sopan, Komentar Anda Akan di Moderasi Terlebih Dahulu .Terima Kasih